Bismillahirohmanirrohim…
Perjalanan Dakwah dan Jihad adalah perjalanan hidup orang-orang mulia dan terpuji sepanjang sejarah. Itulah perjalanan para Nabi, Rasul Allah dan orang-orang Shalih. Satu perjalanan yang tidak menawarkan arama harum dari minyak kasturi, kilauan intan- mutiara dan emas berlian yang bercahaya, sebaliknya dipenuhi onak dan duri, batu dan kerikil, tanah pejal mendaki dan berkelok. Hampir tidak ada yang ingin mengikuti dan menempuhnya kecuali hamba-hamba-Nya yang diberi Rahmat dan Barakah. Teror dan berbagai ancaman ditimpakan kepada para Rasul Allah Swt, para Sahabat-sahabat dan Orang-orang Shalih dari para Ulama’ dan Para Mujahid sesudah para Sahabat, tidak ada yang terlepas dari kezaliman, siksaan, pembantaian dan pembunuhan. Perhatikanlah firman Allah Swt berikut:
Nabi Nuh As telah di ancam rajam.
“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti Hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan Termasuk orang-orang yang dirajam.” (QS As Syua’ara, 26:116)
Nabi Luth As diancam untuk diusir.
“Mereka menjawab: “Hai Luth, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu Termasuk orang-orang yang diusir.” (QS. As Syua’ara, 26:167)
Nabi Ibrahim As diancam untuk dibakar.
“Mereka berkata: “Bakarlah Dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.”(QS. Al Anbiya’, 21:68-69)
Nabi Yusuf As diancam untuk dipenjara.
“Wanita itu berkata: “Itulah Dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya Dia akan dipenjarakan dan Dia akan Termasuk golongan orang-orang yang hina.” Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 21:32-33)
Nabi Musa As diancam penjara dan bunuh.
Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain Aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (QS. As Syua’ara, 26:29)
“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena Sesungguhnya aku khawatir Dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” Dan Musa berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari Setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (QS. Al Mukmin, 40:26-27)
Para Nabi diancam untuk diusir dan dirajam
“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri Kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu, dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim, 14:13-14)
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” (QS Yasin, 36:18)
Adapun Nabi Muhammad Saw dihina dan dikatakan sebagai seorang penyair gila.
“Dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?.” (QS. As Shaffat 37:36)
Dan beliau diancam untuk; ditangkap, dipenjara, diusir dan dibunuh,
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfal, 8:30)
Dan pernah juga Rasulullah Saw difitnah dalam keluarganya, isterinya yang sangat dicintainya Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq, Aisyah Ra yang terkenal dengan HADITUL IFIK (Berita Bohong). Dan hal ini merupakan suatu bentuk yang akan terus berulang pada setiap generasi, dimana sasaran utama dari tuduhan itu sebenarnya diarahkan kepada pemimpin dengan tujuan hendak menghancurkan kepercayaan para pendukung beliau terhadap kepemimpinan tersebut.
Itulah tradisi yang selalu berulang disepanjang sejarah, bila kekuatan fisik tidak mampu membunuh karakter pimpinan, maka di hadapan musuh tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuhnya selain perang psikologis terhadap kepemimpinan tersebut, dengan cara menghancurkannya lewat perang seperti ini. Karena itu, di sini ditampilkan kisah keteladanan ini (HADITUL IFIK) supaya para Da’i dan Mujahid serta para pendukungnya tidak mudah lemah dalam menghadapi segala ujian dan fitnah yang menimpanya, karena musuh selalu menggunakan isu seperti ini, sebagai perang isu yang disebarluaskan oleh musuh dikalangan barisan Islam untuk menghancurkan pimpinan.
Yang terpenting diingat dalam peristiwa ini adalah bahwa berita bohong itu sebagaimana yang telah jelas bersumber dari kaum munafik di bawah bendera pimpinan mereka, Abdullah bin ubay bin Salul. Ketika berita bohong itu masih beredar di kalangan orang-orang munafik, memang tidak ada bahaya apa pun yang bisa mereka timbulkan. Akan tetapi, ketika berita itu sudah masuk ke dalam lingkungan kaum Muslimin, dengan segera berita itu menyebar bagai api membakar jerami. Barulah saat itu tampak betapa besar bahaya keberadaan kaum munafik di tengah umat Islam.
Nash Al Qur’an sendiri, ketika menceritakan peristiwa ini, ternyata lebih banyak mengarahkan tegurannya terhadap kaum Muslimin daripada kepada kaum munafik. Agaknya Al-Qur’an hendak memberi pendidikan terhadap kaum Mukminin yang benar-benar beriman, tapi masih dapat dipengaruhi oleh berita bohong ini dan masih mau menerima pembicaraan orang yang menyangka-nyangka tanpa bukti.
Adapun pelajaran-pelajaran terpenting yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan berita bohong ini, ialah sebagai berikut.

Pertama, menghindari tuduhan yang masih bersifat prasangka adalah kewajiban pokok yang wajib ditunaikan kaum muslimin. Mereka -terutama para pemimpin- juga harus menyadari bahwa prasangka seperti itu menjadi pusat perhatian lawan maupun kawan. Karena itu, sedapat mungkin agar dapat menghindari tempat-tempat dan hal apa pun yang bisa menimbulkan prasangka buruk.
Kedua, jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al Qur’anul Karim,
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur, 24:13)
Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap Muslim. Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. Ini adalah ketetapan Al Qur’an terhadap manusia-manusia semacam itu mereka adalah pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia dengar dari seseorang, namun dia di sisi Allah tetap tergolong para pendusta.
Ketiga, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu, bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah Anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri Anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al Qur’anul Karim, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata,
”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”
“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”
“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”
“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As Sirah An Nabawiyah, II/303).
Semoga saudaraku, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau pemimpinnya, kiranya mau menghitung-hitung barang sedikit, benarkah temannya atau pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.
Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong.
Di sini, ada dua contoh yang saling berlawanan berkenaan dengan berita bohong tersebut di atas. Yang satu lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sedangkan yang lain tidak. Dua contoh itu ditampilkan oleh dua wanita Muslimat bersaudara kandung. Yang pertama ialah Zainab binti Jahsy Ra, salah seorang istri Rasulullah Saw dan yang kedua ialah Hamnah binti Jahsy Ra.
Al Muqrizi telah meriwayatkan dari Zainab tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah Saw, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208).
Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah dicapai oleh wanita Muslimat ini. Kemudian menyatakan bahwa Zainab sama sekali tidak terlibat dalam menyebarkan berita bohong ini. Dalam suatu pembicaraan, Aisyah Ra. Bahkan pernah mengatakan, “Tidak seorang pun yang menyaingiku di sisi Rasulullah Saw selain Zainab binti jahsy.”
Dengan pernyataan ini, agaknya Aisyah menempatkan Zainab pada posisinya secara tepat dalam persaingannya dengan dirinya sebagai sesama istri Rasulullah Saw. Namun demikian, dia tidak berkeberatan untuk memuji madunya itu berkenaan dengan kasus berita bohong tersebut. Aisyah mengatakan, “Adapun Zainab benar-benar dipelihara Allah, berkat kepatuhannya kepada agamanya. Dia tidak berkata apa-apa.”
Lain halnya dengan sikap kedua yang ditunjukkan oleh Hammah, saudara perempuan kandung Zainab. Dia justru ikut menyebarluaskan berita bohong itu dari rumah ke rumah, seolah-olah tak ada halangan apa pun di depan matanya, meski semua itu sebenarnya dia lakukan demi membela posisi Zainab di sisi Rasulullah Saw. Sampai-sampai Aisyahsberkata, menanggapi perbuatan saudara madunya itu, “Adapun saudara perempuan Zainab, Hammah, dia menyebarkan berita bohong itu seluas-luasnya. Dia melawan aku demi saudaranya. Tapi gara-gara itu, dia celaka.”
Bagaimanapun, kita kagum sekali kepada Aisyah Ra. Karena ternyata dia mampu membedakan antara dua sikap yang berbeda dari kedua wanita bersaudara kandung itu dan sama sekali tidak menimpakan kepada Zainab kesalahan yang dilakukan saudaranya itu.

Kelima, beban terberat dalam mengahdapi haditsul-ifki adalah sikap yang mesti diambil oleh orang yang diisukan.
Adapun manhaj yang harus menjadi pegangan dalam hal ini ialah janganlah membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu.
Sekarang, baiklah kita perhatikan teladan yang baik yang telah dicontohkan oleh tiga contoh yang terlanggar kehormatannya dalam kasus haditsul ifki tersebut di atas.
Muhammad Rasulullah Saw, junjungan seluruh umat manusia, yang diwaktu itu beliau juga berstatus sebagai panglima, kepada Negara, dan pemegang kekuasaan. Dengan hanya satu isyarat saja dari beliau, sebenarnya dapat saja melayang nyawa siapa pun yang berani mempecundangi kehormatan beliau. Namun demikian, dalam mengahdapi masalah ini -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka- beliau hanya berpidato di hadapan kaum muslimin di atas mimbar seraya berpesan, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, “Hai sekalian manusia, mengapa ada orang-orang yang menyakitiku mengenai keluargaku dan mengatakan yang tidak benar mengenai mereka. Demi Allah, aku lihat keluargaku baik-baik saja. Orang-orang itupun mengatakan pula hal yang serupa terhadap seorang lelaki, yang demi Allah, aku lihat dia pun baik-baik saja dan dia tak pernah masuk ke salah satu rumah di antara rumah-rumah (keluarga)ku kecuali bersamaku.”
Begitu pula terjadi suatu krisis hubungan antara dua kelompok, Aus dan Khajraj, berkenaan dengan berita bohong ini, Rasulullah Saw tak lebih hanya menjadi penengah, sekalipun salah satu pihak menyatakan pembelaannya terhadap orang-orang yang terlibat dalam mencaci maki Aisyah s. Sedang yang lain menyerangnya dengan berbagai tuduhan. Walaupun demikian, beliau hanya meredakan emosi masing-masing dan tidak berpihak kepada siapapun karena beliau tidak memiliki bukti-bukti untuk membantah pihak yang menuduh. Walaupun ketika Shafwan Ra. Melampiasakan kekesalannya yang amat sangat dalam membela dirinya, lalu dipukulnya Hasan bin Tsabit atas tuduhannya, Rasulullah Saw tetap tidak mendorongnya atau pun memberinya semangat untuk meneruskan tindakannya itu selagi belum ada bukti, padahal beliau tengah berupaya membersihkan segala tuduhan atas diri orang yang paling ia cintai, Aisyah ra.
Pada waktu itu, Hassan maupun Shafwan telah hadir di hadapan Rasulullah Saw. Marilah kita perhatikan pengadilan yang tenang itu terhadap dua orang prajurit yang telah bertindak melampaui batas.
Shafwan Ibnul Mu’athal berkata, “Ya Rasul Allah, dia telah menyakiti hatiku dan mengejekku, lalu aku marah sampai aku memukulnya.”
Bersabdalah Rasulullah Saw kepada Hassan, “Bersikap baiklah kamu hai Hassan, Tegakah kamu menjelek-jelekkan kaumku, padahal Allah telah menunjuki mereka kepada Islam?” Beliau lalu menasehatinya pula seraya bersabda, “Berbuat baiklah kamu, hai Hassan, mengenai pukulan yang telah menimpa dirimu.”
Hassan pun menerima nasihat beliau, lalu dia serahkan diyat (denda) atas pukulan itu kepada beliau, seraya berkata, “Diyat-nya untukmu wahai Rasul Allah.”
Menurut riwayat Ibnu Ishak, “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Rasulullah Saw kemudian memberi Hassan sebidang tanah sebagai pengganti dari diyatnya itu dan ditambahnya pula dengan seorang budak wanita mesir bernama Sirin. Wanita itu dikemudian hari melahirkan untuknya seorang anak bernama Abdurrahman bin Hassan.” (Ibnu Hisyam, II/305-306)
Demikian pukulan yang di lakukan Shafwan terhadap Hassan telah dibayar dengan sebidang tanah dan seorang budak wanita. Rasulullah-lah yang membayarnya kepada Hassan bin Tsabit, setelah dia menyatakan memberi maaf kepada Shafwan Ibnu Mu’aththal, padahal orang yang diberi itu tadinya telah mengubah sya’ir yang berisi tuduhan terhadap istri beliau sendiri dan dengan sya’irnya itu ia pergi ke mana-mana menyebarluaskan isu itu tanpa henti.
Abu Bakar Ra dan istrinya, Ummu Ruman. Mereka berdua telah mendapat cobaan luar biasa yang tak pernah menimpa seorang Muslim lainnya. Walau demikian, yang dikatakan oleh ibu yang penyabar itu, yang telah dipecundangi kehormatannya, dikecam dan dihina, tak lebih dari, “Anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, seorang wanita cantik menjadi istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan madunya pun banyak, jarang sekali yang luput dari omongan-omongan yang di lontarkan oleh madu-madunya maupun oleh orang lain.”
Adapun Abu Bakar Ra tak bisa berbicara apa-apa selain, “Saya tak pernah melihat satupun keluarga di kalangan bangsa Arab yang mengalami cobaan seperti yang dialami keluarga Abu bakar. Demi Allah, omongan-omongan ini tak pernah di ucapkan orang terhadap kami di zaman Jahiliyah, di kala kami tidak menyembah Allah. Tetapi, di masa Islam, justru kami mengalaminya!”
Aisyah, yang tak henti-hentinya menangis sehingga dia yakin tangis itu akan menghentikan detak jantungnya. Ketika dia berhadapan dengan Rasulullah Saw dan beliaupun menanyakan kepadanya mengenai berita itu, dan dia hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku, demi Allah, telah tahu betul bahwa tuan-tuan telah mendengar berita ini, lalu hati tuan tuan-tuan termakan olehnya lalu mempercayainya. Jadi, kalaupun aku katakan kepada tuan-tuan bahwa aku tidak bersalah, tuan-tuan takkan mempercayaiku. Kalau pun aku mengakui kepada tuan-tuan tentang sesuatu, yang Allah pasti tahu aku bersih darinya, barulah tuan-tuan akan mempercayaiku. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mendapatkan suatu teladan untuk diriku selain ayah nabi Yusuf ketika dia berkata, “….maka kesabaran baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu sekalian ceritakan. (QS. Yusuf : 18).
Sungguh, itulah sikap yang tiada taranya dalam sejarah dari sebuah keluarga paling suci di muka bumi ini. Mereka dipecundangi kehormatan dan kemuliaanya, namun tidak seorang pun dari mereka yang keluar batas dan tidak terlontar sepatah kata pun dari mereka yang meninggung perasaan orang lain, bahkan masing-masing tetap mampu mengendalikan urat sarafnya.
Adapun yang keluar batas hanyalah Shafwan Ibnu Mu’aththal Ra. Saking kesalnya, dia pukul Hassan dengan pedangnya dan hampir saja ketelanjurannya mengakibatkan perisyiwa besar seandainya tidak segera dilerai oleh Rasulullah Saw.
Demikianlah adab Islam yang luhur terhadap orang-orang yang menyebarluaskan isu yang keliru dan berita bohong.
Keenam, sikap terakhir yang dapat kita simpulkan dari peristiwa haditsul-ifki ialah menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan tidak cukup dengan sekadar sang pemimpin menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan kepada pihak yang terkena fitnah, lalu habis perkara. Harus ada hukuman tegas yang dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu, setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang, gerakan Islam malah membiarkan begitu saja si penyebar isu dan berita bohong. Karenanya, masyarakat tak habis-habisnya digoncang oleh berbagai macam fitnah.
Sebagai contoh, cukuplah kita sampaikan bahwa hukum Islam terhadap tiga tokoh penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman had.
Peristiwa seperti ini justru terjadi pada periode da’wah ini karena sejarah da’wah sebelumnya memang tak pernah menyaksikan terjadinya peristiwa yang serupa di kalangan masyarakat Islam sendiri. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa terjadinya isu biasanya pada saat lemahnya bangunan internal dan pada saat ada kesiapan untuk menerima isu. Sebaliknya, di kala umat sibuk dengan perjuangan dan peperangan menghadapi musuh, jarang sekali isu dapat memengaruhi jiwa mereka.
Dari pelajaran diatas cukuplah bagi kaum Muslimin dan Muslimah yang baru bergabung dalam perjuangan ini menjadikannya sebagai teladan hidup yang paling berharga.Semoga keberkatan untuk kita.
Wallahu’alam…

Teladan Rasulullah Menyikapi Fitnah dan Ujian Dalam Dakwah dan Jihad

Ketika Badai Menghantam Perahu Kami...
Oleh Abdullah Haidir, Lc
...
Berlayar mengarungi samudera, jangan berharap kau kan tiba di pulau tujuan tanpa cobaan mendera. Sebelum layar dibentangkan, inilah yang harus terpatri dalam diri menjadi kesadaran. Bahwa berbagai keindahan dari sebuah pelayaran panjang dan kenikmatan di pulau tujuan, berbanding lurus dengan besarnya tantangan yang menghadang. Tak kan pernah kau dapatkan indahnya pemandangan angkasa menjulang di tengah samudera luas membentang, selagi kau masih takut menembus hempasan gelombang. Ini bukan sekedar resiko perjalanan, tapi tlah menjadi aksioma tak terbantahkan.

Di sini, di perahu ini, kita sedang merangkai keutuhan dan persaudaraan, kesetiaan dan keteguhan, apapun posisi dan kedudukan. Karena kita telah memiliki tujuan, harapan dan mimpi yang sama ingin diwujudkan. Namun, kita tidak pernah menafikan adanya kesalahan, kelalaian dan kekhilafan, bahkan juga kejenuhan, kekecewaan, kemarahan, hingga silang sengketa yang tak terhindarkan. Itu wajar belaka, karena memang tidak satu pun di antara kita yang mengaku tiada cela tiada dosa. Namun kesamaan tujuan, mimpi dan khayalan, kan segera menyatukan, meluruskan langkah ke depan, menghapus resah dan kemarahan, berganti semangat yang terbarukan. Karenanya, kita sambut gembira setiap arahan, nasehat dan pesan-pesan yang dapat menguatkan serta menyatukan, sekeras apapun. Tapi, fitnah yang memecah barisan, tuduhan yang memojokkan, umpatan dan celaan yang menjatuhkan, serta aib yang dibeberkan, apalagi tindakan melobangi perahu agar kandas atau tenggelam, tidak pernah dapat kami terima, baik secara logika apalagi perasaan. Bagaimanapun, kami bukan batu yang diam diketuk palu.

Di sini, di perahu ini, kita sedang menjadikan badai dan gelombang sebagai ujian kejujuran, sarana muhasabah untuk memperteguh perjuangan, juga sarana belajar menjaga komitmen atas kesepakatan yang tlah dinyatakan. Karenanya, alih-alih badai ini menceraiberaikan atau meluluhlantakkan, justeru dia menjadi moment paling tepat untuk semakin rekat, melupakan kesalahpahaman yang sempat menimbulkan sekat. Mereka di kejauhan, boleh jadi bersorak sorai kegirangan ketika kita terombang ambing di tengah gelombang, berharap satu persatu dari kita tenggelam menjemput ajal menjelang. Tapi tahukah mereka? Justeru saat ini kami rasakan kehangatan tangan saudara kami yang erat saling berpegangan, justeru saat ini kami rasakan kekhusyuan doa-doa untuk keselamatan dan persatuan, justeru saat ini kami semakin yakin bahwa seleksi kejujuran memang harus lewat ujian, justeru saat ini kami jadi dapat membedakan mana nasehat dan mana dendam kesumat, mana masukan bermanfaat dan mana makar jahat, mana senyum tulus persaudaraan dan mana senyum sinis permusuhan.

Di sini, di perahu ini, justeru di tengah badai gelombang, kita jadi semakin mengerti pentingnya nakhoda yang memimpin dan mengendalikan, juga semakin menyadari pentingnya syura untuk mengambil keputusan, lalu pentingnya belajar menerima keputusan setelah disyurakan. Adanya kepemimpinan dan syura memang memberatkan, karena proses jadi panjang, langkah-langkah jadi terhalang aturan, keinginan sering tertunda menunggu keputusan. Tapi ini tidak dapat kita hindari, karena kita tidak berlayar sendiri, bergerak sendiri, mengambil keputusan sendiri dan menanggung resiko sendiri. Justeru karena kita berlayar bersama, maka kepemimpinan dan syura mutlak harus ada. Kepemimpinan memang bukan nabi yang maksum dan mendapatkan legalitas wahyu dalam setiap kebijakan, kesalahanpun bukan sebuah kemustahilan meski tidak kita anggap kebenaran. Tapi kepemimpinan yang dibangun oleh syura, telah memenuhi syarat untuk disikapi penuh penghormatan dan ketaatan, sepanjang tidak ada ajakan kemaksiatan. Sebagian orang boleh jadi mengatakan ini sikap taklid buta, kita katakan, 'Inilah komitmen kita!' Sebagian lagi katanya merasa kasihan dengan anak buah yang tidak mengerti banyak persoalan dan hanya ikut ketentuan, kita katakan, 'Kasihanilah dirimu yang sering menghasut tanpa perasaan!'

Di sini, di perahu ini, ketika badai menghantam dari kiri dan kanan, depan dan belakang, teringat perkataan para shahabat dalam sebuah peperangan, tatkala musuh dari luar datang menyerang dan orang dekat menelikung dari belakang,

'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Ahzab: 22)

Ibnu Katsir menjelaskan, "Maksudnya, inilah janji Allah dan Rasul-Nya berupa ujian dan cobaan, pertanda kian dekatnya kemenangan."

Riyadh, Rabiul Tsani 1432 H.

ketika Badai Menghantam perahu Kami .......

dakwatuna.com – Seorang lelaki mulia, yang fisiknya Allah takdirkan tak sempurna, tapi karenany

a Rasul yang mulia pernah ditegur Allah dalam Surat ‘Abasa. Seorang lelaki luar biasa yang ditugasi menggantikan Rasulullah mengimami Shalat ketika Rasul sedang berangkat ke medan perang. Dialah Abdullah bin Ummi Maktum.
Kisah ini terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khattab, seruan berjihad dikumandangkan Khalifah. Khalifah menginginkan semua persiapan perang semaksimalnya. “Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya, sesegera mungkin!”, begitu komando khalifah.
Dalam kondisi ini Abdullah termasuk orang yang punya udzur dan boleh untuk tidak mengambil bagian dalam perang. bahkan khalifah pun punya alasan melarangnya ikut,”iya kalau yang ia tebas adalah musuh,bagaimana kalau yang kena tebasan pedangnya adalah kawan?”,begitu alasan khalifah Umar. Tapi, Abdullah bin Ummi maktum tetaplah Abdullah bin Ummi Maktum, dia adalah manusia luar biasa, manusia yang tak pernah menyerah pada keterbatasan fisiknya, ia selalu punya cara, mencari-cari alasan agar ia tetap dibolehkan ikut berperang.
“Tempatkan saya di antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari”. Begitu kira-kira dalih logis yang disampaikannya. Pada akhirnya khalifah memang mengizinkan ia ikut dalam pasukan perang besar ini, dan pada akhirnya nanti kita akan tahu, kemenangan besar pada perang Qadisiyah ini ditebus dengan syahidnya banyak syuhada, salah satunya Abdullah bin Ummi Maktum. Ia syahid bersama bendera islam yang masih dipeluknya.
Kisah lain seorang sahabat Rasul bernama Amr bin Jamuh. Sahabat ini Allah takdirkan memiliki fisik yang juga kurang sempurna, Ia pincang. Tapi lihatlah bagaimana kuat tekadnya melawan keterbatasan fisiknya. Ia sampai “bertengkar” dengan keempat anak laki-lakinya lantaran ia dilarang ikut ke medan perang ke medan perang. Bahkan ia sampai mengadu pada Rasulullah soal anak-anak yang melarangnya berperang, sampai ia berucap,”Ya Rasulullah, tak bolehkah aku menginjak surga dengan kaki pincangku ini?”. Kuatnya azzam Amr bin Jamuh membuat Rasulullah mengizinkan ia ikut ke medan perang, Uhud menjadi saksi syahidnya ia bersama putra-putranya. Subhanallah.
Kisah lain tentang seorang mulia yang hidup di abad ini. Ikon perjuangan di tanah Palestina. Ya, syeikh Ahmad Yasin. Karena kecelakaan yang dialami pada usia belianya, berakibat fatal pada fisiknya. Bagian tubuhnya yang bisa berfungsi dengan baik hanya bagian leher ke atas, hanya bagian kepala saja. Tapi Ahmad Yasin tetaplah Ahmad Yasin. beliau tak pernah mengalah atau menjadikan udzur ini sebagai alasan untuk tidak ikut berjuang. Beliau tetap mengambil peran penting dalam perjuangan rakyat Palestina. Untaian mutiara yang mengalir dari lisannya yang bahkan hampir tak terdengar selalu mampu membangkitkan semangat para pejuang, selaksa hikmah yang beliau ajarkan bahkan selalu mampu mencetak para pejuang baru yang siap menjadi pelanjut juang di tanah para Nabi itu. Bahkan untuk membuat syahid beliau yang sudah tua dan tak mampu apa-apa secara fisik ini, Israel la’natullah masih membutuhkan dua helikopter tempur Apache. Betapa menakutkan syekh Ahmad Yasin di mata mereka. Allahuakbar!
Seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, yang namanya monumental di negeri ini, bahkan menjadi nama jalan di seluruh pelosok Indonesia. Ia menjadi panglima TNI pertama, termuda, dan itu ia dapatkan tanpa karir militer. Ia adalah Jenderal besar Soedirman. Beberapa waktu setelah negeri ini merdeka, ia diangkat menjadi panglima TNI oleh bung Karno. Setelah proklamasi tak serta merta negeri ini aman. Salah satu babak terpenting, selain kemenangan pada Palagan Ambarawa, yang menunjukkan betapa luar biasanya manusia ini adalah pada agresi militer Belanda yang kedua pada Desember 1948. Pasukan TNI terdesak, Para tokoh nasional tertangkap, tapi jenderal tetaplah jenderal, ia harus tetap memimpin perang, dengan gerilya. 7 bulan lamanya beliau memimpin gerilya keluar masuk hutan, hit and run terhadap pasukan sekutu, dalam keadaan menderita tuberculosis yang sangat parah, nyaris tanpa perawatan medis selama itu dan beliau memimpin perang dalam keadaan ditandu. Walau berakhir dengan gugurnya beliau karena TBC yang semakin menggerogoti tubuh beliau, tapi perjuangannya tak pernah sia-sia. Sekutu menyerahkan sepenuhnya negeri ini. Merdeka dengan de facto dan de jure.
Kawan-kawan, manusia-manusia luar biasa ini adalah beberapa diantara sekian banyak manusia yang namanya monumental di panggung sejarah manusia, tercatat dengan tinta emas di kitab perjuangan, karena perjuangannya, karena kuat azzamnya, karena mereka adalah orang yang yang tak menjadikan keterbatasan menjadi alasan tak turut berjuang. Mungkin kita tak bisa bayangkan betapa beratnya menjadi Abdullah bin Ummi Maktum yang buta, atau lagi menjadi syekh Ahmad Yasin yang tubuhnya hanya berfungsi bagian leher ke atas saja. Mungkinkah jika kita seperti mereka, kita masih tetap akan berjuang??
Kawan-kawan, mari kita sedikit berefleksi. Bagaimana kondisi fisik kita dibanding mereka? Saya yakin banyak diantara kita yang secara fisik jauh lebih baik dari mereka. fasilitas yang kita punya pun jauh lebih lengkap dari mereka. Selain fisik yang lebih sempurna, kita masih didukung oleh kecanggihan teknologi, mobile phone, notebook, Blackberry, sepeda motor, mobil, facebook, twitter, dll. Tapi bagaimana sikap kita dalam perjuangan ini? Sudah sunguh-sungguhkah kita berjuang?Apa yang sudah kita torehkan di panggung juang ini?
Kawan, kita dan mereka sama-sama suka mencari-cari alasan. Kita, dengan segala kelebihan sering mencari-cari alasan untuk tak ikut berjuang. Dan mereka, dengan segala kekurangan selalu mencari-cari alasan untuk tetap bisa berjuang. Malulah kita pada mereka, jika terlalu sering kita izin dari medan perjuangan karena alasan-alasan yang sangat sepele, dan tak masuk akal harusnya…,motor terlanjur dikandangin, kekenyangan, ngantuk, terkepung gerimis,dll….
Selanjutnya kita harus hati-hati dengan firman Allah berikut ini
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (QS At-Taubah :47)
Hati-hati, jangan sampai ketidakhadiran kita memang karena Allah tak hendak kita hadir di medan juang. sebabnya bisa jadi, karena niat kita yang tak bulat dan azzam kita yang tak kuat, maka ada-ada saja alasan yang muncul ketika panggilan da’wah itu datang.
Akhirnya, kita adalah manusia yang telah ditakdirkan untuk hidup di dunia tanpa pernah kita memintanya. Tapi mengambil peran dalam perjuangan dan sungguh-sungguh di dalamnya adalah sebuah pilihan, dan pilihan apapun yang kita ambil pasti akan ada konsekuensinya, sekarang dan nanti. Semoga Allah selalu menjaga niat kita dan menguatkan azzam kita.
Amiin…
(dikutip sebagian dari Faguza Abdullah)

Malulah Kita Pada Mereka

28/01/2011



keterangan gambar ki-ka: Davis, Khadim dan Canon

Pertemuan Mustafa Davis dengan Usama Canon sepertinya bukan sebuah "kebetulan" semata. Karena dari pertemuan yang serba kebetulan itu, mengantar Mustafa menjadi seorang muslim. Sekarang, 15 tahun sudah Davis menjadi muslim dan peristiwa "kebetulan" tak pernah ia lupakan.

Davis secara tak sengaja bertegur sapa dengan Usama lima belas tahun yang lalu, saat sedang menuju ke tempat kuliahnya. Usama mengomentari t-shirt yang dikenakan Davis dan menyalaminya. Pertemuan selanjutnya di kelas bahasa Spanyol, karena ternyata mereka sama-sama mengambil kelas bahasa itu dan kerap duduk bersisian di dalam kelas. Keduanya akhirnya tahu bahwa mereka sama-sama menyukai musik dan seni. Oleh sebab itu, Davis dan Usama--yang jago main piano--kadang menyelinap ke aula kampus karena ada piano di sana. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain musik, dan kadang diselingi dengan perbincangan tentang spiritualitas. Itu mereka lakukan hampir setiap hari selama satu semester perkualiahan.

Suatu hari saat menikmati makanan sushi di restoran Jepang dekat kampus. Davis curhat ke Canon tentang kehidupannya yang agak kacau dan keinginannya untuk kembali ke "jalur" kehidupan yang benar. Kala itu, Davis tinggal seorang diri di San Jose. Malam bekerja, siang kuliah. Davis merasa masa lalunya menjadi beban yang selalu menghantui hidupnya dan mulai berpikir bahwa untuk mengatasi segala problema kehidupan yang dialaminya dengan cara kembali ke gereja, menjalani kembali kehidupan yang religius.

"Saya bilang pada Usama bahwa saya sedang mempertimbangkan untuk kembali pada Katolik, agama saya untuk memperbaiki hidup. Usama lalu bertanya, apakah saya pernah berpikir tentang agama Islam dan saya jawab tidak pernah, karena saya merasa Islam adalah agamanya orang Arab atau agama kelompok separatis kulit hitam. Saya juga beranggapan bahwa orang-orang Islam yang saya jumpai adalah orang-orang yang munafik dan saya tidak pernah melihat orang Islam yang menjalankan agamanya dengan baik," tutur Davis

Usama, kata Davis, lalu menceritakan tentang kakak lelakinya, Anas Canon yang pindah ke agama Islam tak lama setelah ia aktif dalam organisasi Nation of Islam. Usama mengatakan bahwa Islam bukan hanya untuk orang Arab dan dari yang ia tahu, Islam adalah agama yang universal, meski Usama sendiri saat itu belum memeluk Islam.

Dalam perbincangan itu, Usama juga menanyakan apakah Davis tahu tentang Nabi Muhammad Saw. dan Davis menjawab bahwa ia hanya kenal sosok Elijah Muhammad. Usama lalu menjelaskan bahwa Nabi Muhammad yang ia maksud berbeda dengan Muhammad yang Davis kenal. Pada titik ini, seperti biasanya, Davis berusaha menghindar jika ada orang yang mulai bicara banyak soal agama. Apalagi setelah ia tahu Nabi Muhammad itu berasal dari Arabia, Davis merasa Islam bukan untuknya. Obrolan hari itu itupun selesai begitu saja.


Surat Maryam Membuat Davis Menggigil

Suatu malam, setelah kerja, Davis ke toko buku untuk membeli Alkitab. Ia melewati rak berisi buku-buku "Filosofi Timur" dan melihat sebuah buku bersampul hijau bertuliskan "MUHAMMAD" dengan huruf-huruf yang berwarna keemasan. Ia berhenti dan berpikir sejenak, lalu meraih buku itu. Judul lengkap buku itu "MUHAMMAD – His Life Based On The Earliest Sources" yang ditulis oleh Martin Lings.

"Yang menarik perhatian saya adalah kata 'earliest sources' dalam judul itu. Saya bermaksud beli Alkitab di toko itu, dan saya tahu ada perdebatan teologis tentang kesalahan-kesalahan yang ada dalam alkitab, yang juga sangat mengganggu pikiran saya. Maka, saya buka buku 'MUHAMMAD' itu, meski sulit mengucapkan nama-nama Arab dalam buku tersebut, saya mencoba membaca beberapa baris isi buku. Empat atau lima baris kalimat yang saya baca menyebut kata 'Qur'an' beberapa kali. Nama-nama Arab yang baca makin membuat saya merasa bahwa Islam adalah agama orang Arab dan bukan yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya pun meletakkan buku itu," ungkap Davis.

Tapi saat ia berjalan meninggalkan rak buku itu, huruf keemasan bertuliskan "MUHMMAD" muncul kembali di pelupuk matanya dan membuat Davis kembali ke rak buku tadi. Kali ini, Davis memperhatikan buku dengan judul "The Quran". Ia ingin mengabaikan buku itu, tapi ia ingat bahwa kata "Quran" disebut beberapa kali dalam buku Martin Lings yang baru saja ia baca-baca. Davis akhirnya mengambil buku "The Quran" dan membuka halamannya secara acak, dan kebetulan yang ia buka adalah halaman pertama Surat Maryam. Davis membaca terjemahan surat itu dari awal sampai akhir. Saat membaca isi surat Maryam yang menceritakan kelahiran Nabi Isa, David merasakan tubuhnya panas dingin. Ia tidak menyangka Muslim juga meyakini keajaiban dalam kelahiran "Yesus" yang diyakini dalam agama Davis, namun Muslim tidak meyakini Yesus sebagai anak dari Tuhan seperti keyakinan umat Kristiani. Selama ini, meski sebagai pemeluk Katolik, Davis menganggap ajaran bahwa Tuhan punya anak lelaki, sungguh tidak masuk akal.

Tanpa tahu apa sebabnya, Davis menangis terisak-isak di toko buku itu saat membaca Al-Quran yang dipegangnya. Ia memutuskan untuk membelinya agar ia bisa membaca lebih banyak tentang apa yang diyakini kaum Muslimin. "Dalam situasi perasaannya yang sedang emosional, Saya betul-betul sudah lupa untuk membeli Alkitab dan meninggalkan toko buku itu," ujar Davis.

Kejadian Aneh dalam Sehari

Setelah membeli Al-Quran, keesokan harinya Davis ke kampus dan di perjalanan ia melewati sebuah toko kecil milik seorang lelaki Sinegal yang menjual kerajinan tangan, dompet dan boneka khas Afrika. Davis tertarik melihat-lihat dompet. Lelaki Sinegal itu menyapanya, "Hello sobat apa kabar?". Davis menjawab, "baik-baik saja, terima kasih."

Davis bercerita, lelaki Sinegal itu lalu memperhatikannya dengan seksama, tersenyum dan melontarkan pertanyaan yang membuat Davis kaget. "Sobat, apakah kamu seorang muslim? Kamu seperti seorang muslim," tanya lelaki Sinegal itu. Davis tersentak, selama ini ini tidak pernah ada orang yang mengiranya seorang muslim, dan malam tadi ia baru saja membeli Al-Quran. Davis menjawab bahwa ia bukan seorang muslim, tapi semalam ia baru saja membeli Al-Quran.

Mendengar jawaban Davis, lelaki Sinegal itu keluar dari toko kecilnya dan memeluk Davis dan terus-terus berkata bahwa ia bahagia mendengarnya dan itu merupakan pertanda dari Allah untuk Davis. Nama lelaki Sinegal itu adalah Khadim.

Khadim sempat minta tolong Davis untuk menunggui tokonya, sementara ia berwudu dan menunaikan salat. Pada Davis, Khadim mengatakan bahwa sebagai muslim, ia berkewajiban salat lima waktu sehari. Begitu Davis menyatakan ia bersedia membantu, Khadim menunjukkan kotak tempat penyimpanan uang, memberitahu harga barang-barangnya pada Davis, lalu pergi salat.

Sekitar setengah jam Davis menjaga toko Khadim. Selama menunggu, Davis tak henti berpikir, "Siapa laki-laki ini, meninggalkan uangnya pada saya. Bisa saja saya kabur dan membawa uangnya dan ia tidak akan bisa menangkap saya." Davis heran, mengapa Khadim tidak mengkhawatirkan kemungkinan itu, mempercayakan uangnya pada orang asing.

Khadil kembali dari salat dan Davis melihat wajah Khadim seperti bersinar. Ia memeluk Davis dan mengucapkan terima kasih. Davis kemudian pamit dan menuju kampus. Sesampainya di kampus, Davis lagi-lagi terhenyak ketika seorang mahasiswa asal Pakistan menyapanya dan mengucapkan salam, lalu bertanya pada Davis "Apakah kamu seorang Muslim?". Ini adalah pertanyaan kedua dalam satu hari yang ditujukan pada Davis.

Davis menjawab bahwa ia bukan muslim dan balik bertanya mengapa mahasiswa Pakistan itu menanyakan hal itu. Mahasiswa Pakistan itu hanya berkata, "Saya tidak tahu, Anda kelihatannya seperti seorang muslim." Kejadian ini membuat Davis bertanya-tanya dalam hati. Davis mengatakan pada mahasiswa Pakistan tadi bahwa ia sekarang sedang membaca-baca Al-Quran. Si mahasiswa Paksitan sangat senang mendengar apa yang dikatakan Davis dan menanyakan apakah Davis pernah ke masjid. Davis terus terang bahw ia belum pernah ke masjid dan ia menerima ajakan mahasiswa Pakistan itu untuk pergi ke masjid keesokan harinya. Mereka pun saling bertukar nomor telepon. Davis makin penasaran.

Hari Jumat sore, mahasiswa Pakistan itu datang dan mengajak Davis ke rumahnya. Davis dijamu makan, duduk di lantai. Meski seumur hidupnya ia belum pernah duduk di lantai untuk makan, Davis merasa tidak canggung sama sekali. Setelah makan, mereka berangkat ke masjid milik Muslim Community Association di Santa Barbara, California.

Sesampainya di masjid, Davis disambut sekitar 40 jamaah masjid dengan senyum dan jabatan tangan. Davis diajak duduk bersama, membentuk lingkaran kecil. Seorang lelaki menanyakan apakah Davis tahu tentang Islam. Davis pun menceritakan bagaimana ia sampai membeli Al-Quran dan mulai membaca isinya. Davis ditanya lagi, apakah ia percaya pada Nabi Muhammad, tanpa ragu Davis menjawab "Ya". Pertanyaan lainnya, apakah Davis percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan, Davis menjawab "Tidak", tapi percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi. Masih banyak pertanyaan lainnya yang diajukan ke Davis, mulai dari apakah ia percaya malaikat, ayat suci Al-Quran dan hari Kiamat, dan Davis menjawab bahwa ia meyakini semuanya.

Lelaki yang bertanya itu lalu mengatakan, "Itulah yang diyakini kaum Muslimin, jadi kamu (Davis) meyakini hal yang sama pula. Apakah suatu saat kamu mau menjadi seorang muslim?" tanyanya. Lagi-lagi, tanpa ragu Davis menjawab "Ya".

Bersyahadat

Lelaki itulah yang akhirnya membantunya mengucapkan dua kalimat syahadat di hari ke-17 bulan Ramadan tahun 1996.

Enam bulan setelah masuk Islam, Usama Canon menghubungi Davis dan menanyakan tentang Islam. Keduanya pergi makan malam dan membahas soal agama. Keesokan harinya, Davis mengajak Canon ke masjid dan Canon pun mengucapkan syahadat. Canon, orang pertama yang menyebut-nyebut Islam pada Davis dan sebuah kehormatan bagi Davis hari itu mengajak Canon ke masjid dan Canon masuk Islam juga.

"Bukan ilmu teologi atau perdebatan agama yang membawa saya pada agama Islam. Tapi musik, budaya, teman yang yang saya percaya dan seorang asing yang tersenyum pada saya. Yang ironis, budaya Arab-lah yang pertama kali membuat saya enggan mencari tahu soal Islam. Tapi sekarang, setelah menjadi muslim, saya berusaha meninggalkan budaya saya sendiri (budaya Amerika) dan mencoba menerapkan budaya Arab. Setelah beberapa tahun, saya bisa kembali pada akar budaya saya sebagai orang Amerika sekaligus sebagai seorang Muslim," papar Davis.

Davis sekarang tinggal di San Francisco Bay Area. Ia berprofesi sebagai fotografer dan sutradara. Belum lama ini, saat berjalan-jalan bersama Canon, Davis bertemu Khadim lagi. Mereka sangat bahagia dan berfoto bersama. "Segala puji bagi Allah atas rahmatnya pada Islam," doa Davis.

Mustafa Davis: Lima Huruf yang Mengubah Kehidupanku

20 Shafar 1432 H
Oleh: Siti Zuhrotun Nisa'

dakwatuna.com – Adakah peristiwa yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun lalu dan masih senantiasa membekas di benak Anda? Bisa ya bisa pula tidak. Bagi saya, ada suatu kisah yang masih membekas karena hikmahnya ternyata belum begitu lama mampu benar-benar saya pahami…
Alkisah, saya sedang menonton pawai tujuh belasan waktu itu. Lokasinya di dekat perlintasan kereta api, sebuah pertigaan, yang salah satu arahnya adalah arah menuju RSUD Wates. Penonton yang berjubel otomatis menutup jalan utama yang menuju rumah sakit tersebut. Di tengah ramainya suasana, sebuah mini van berusaha menyeruak kerumunan. Karuan saja pak polisi bertindak dan terjadilah suatu dialog dengan sang pengemudi mobil. Karena posisi saya cukup jauh untuk mendengarkan, jadilah saya hanya menilai alangkah ngaconya mobil yang hendak meminta jalan tersebut. Namun sejurus kemudian saya juga terkejut melihat seorang wanita yang duduk di sebelah pengemudi mobil itu. Di tangannya tampak seorang anak yang rapat terbalut kain dan direngkuh dengan gemetaran sepertinya. Ketika lebih jelas saya amati pun, raut kedua orang tersebut tampak cemas dan terburu-buru. Tak berapa lama, mobil tersebut dibiarkan lewat dan meluncur cepat ke arah rumah sakit.
Jika Anda menjadi saya, samakah yang kita pikirkan?! Awalnya saya juga kesal melihat mobil tersebut yang mengganggu kemeriahan pawai, tapi tak butuh berapa lama saya sadar saya keliru. Tentulah ada alasan ‘besar’ mengapa mobil tersebut memberanikan diri menembus kerumunan, dan ternyata — sepenangkapan saya — ada anak yang sedang sakit di dalamnya. Masih kesalkah saya kemudian?! Tidak ternyata, saya mengerti, orang tersebut punya alasan, dan alasannya penting :)
Bertahun-tahun kemudian saya baru benar-benar bisa memahami hikmah endapan ingatan tersebut, tak lain adalah tentang prasangka. Mudah ya untuk merasa kesal dan marah pada mobil tersebut, dan bisa jadi saya juga tidak tertarik mengapa mobil itu berusaha menyeruak kerumunan, pokoknya ngeselin, titik. ;D Tapi, ketika saya sedikit menajamkan mata dan mengamati, oh..ternyata ada anak yang sakit di dalamnya. Oh..kasihan ya kalau nggak boleh lewat. Oh..kelihatannya sang bapak dan sang ibu itu begitu cemas. Dan akhirnya, tak apalah minggir sejenak…
Prasangka, sebagian besarnya adalah menggiring pada dosa. Bisa dipahami dari peristiwa di atas, yaitu akan lebih mudah mengira tentang keburukan daripada kebaikan, hehehe. Tapi ketika kita mampu ‘memaksa’ pemikiran kita untuk lebih terbuka dan mengamati — tidak hanya sekedar melihat — maka akan lahir pemahaman baru yang bisa jadi berbeda. Pemahaman yang bernama p e n g e r t i a n :)
Sekilas dapat juga kita tengok peringatan Allah tentang bahayanya prasangka. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurât: 12)
Buat saya, berprasangka itu melelahkan, itu yang jelas. Karena seperti jabaran hukum tarik menarik dalam buku The Secret. Pemikiran akan menarik hal-hal lain yang senada dengannya. Dengan demikian, pemikiran negatif a.k.a prasangka itu akan menarik lebih banyak lagi hal negatif lainnya. Sebagaimana sebaliknya, setiap pemikiran positif juga akan menghadirkan lagi lebih banyak hal positif dalam diri kita. Jadi, jika demikian, mulai sekarang mari kita perbaiki akhlaq kita semua. Dimulai dengan berprasangka baik terhadap orang lain. Kita akan berkumpul dengan orang-orang baik dan insya Allah kita akan tertular menjadi orang yang baik. Sederhana saja kan, insya Allah :)
Daripada melelahkan diri dengan berkesal-kesal dengan orang lain, pindah arah pandangan yuuk… insya Allah ada alasan di balik setiap tindakan. Dengan membiasakan diri berpikir demikian, insya Allah pikiran juga akan lebih tenang, dan pada kelanjutannya kita akan bisa merasa lebih nyaman dengan segalanya. Insya Allah juga, segala persoalan akan teratasi jika diawali dengan pemikiran yang tenang dan nyaman. :)

Menjaga Prasangka



18 Shafar 1432 H
Oleh: Bahrudin Yuliyanto

dakwatuna.com – Alhamdulillahirobbil ‘alamin, segala puji hanya milik Allah Robb Yang Menciptakan alam semesta beserta segala isinya, mengaturnya sehingga semua berjalan sesuai tuntunanNya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Teladan ummat manusia sepanjang masa, Dialah Rasulullah Muhammad saw. Seorang manusia yang Allah tunjuk sebagai penutup para nabi, seorang manusia terbaik yang dengan amal-amalnya menjadikan beliau sebagai manusia terbaik sepanjang masa, yang dengan arahan terbaiknya telah mendidik dan menjadikan para sahabat sebagai sebaik-baik ummat.

Hari ini problematika dakwah secara umum semakin besar baik internal maupun eksternal, begitu pula beragam problematika yang harus dihadapi oleh kami sebagai bagian dari aktivis dakwah thullaby/sekolah (ADS). Oleh karena itu, kami aktivis dakwah sekolah (ADS) dituntut untuk mempersiapkan diri dengan segala perbekalan yang kami butuhkan agar dapat melalui rintangan dan tantangan yang datang menghadang. Allah swt berfirman:” Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al Anfal: 60).

Perbekalan-perbekalan yang kami butuhkan tidak hanya yang bersifat materi, tapi yang bersifat non-materi terkadang menjadi perbekalan yang terbaik ketika materi tidak lagi mampu menerobos tantangan tersebut, sejarah pernah mengajarkan kepada kami kisah tentang Ashhabu al ghoor, bagaimana ketika tenaga tiga orang pemuda tidak mampu menggeser batu yang menutupi pintu gua, ternyata doa merekalah yang membuat Allah kemudian memerintahkan supaya batu tersebut bergeser sehingga ketiga pemuda bisa keluar dari gua dengan selamat.

Kami menyadari dengan sepenuh hati, bahwa sebelum kami mempersiapkan diri dengan perbekalan yang terbaik guna menempuh jalan dakwah ini, kami harus mengetahui problematika apa saja yang akan kami hadapi.

Di dalam buku ini kami akan mencoba mengupas berbagai problematika yang dihadapi dakwah sekolah, selain itu juga kami akan menawarkan beberapa solusi untuk menyelesaikan bermacam problematika yang terjadi dalam lingkup dakwah sekolah, sekaligus kami akan mencoba memberikan gambaran tentang alur umum pembinaan dakwah sekolah beserta beberapa kelengkapan-kelengkapannya sebagai bahan masukan bagi rekan-rekan yang berjuang melalui dakwah sekolah. Semoga melalui buku ini penulis dapat memberikan sumbangsih meskipun sedikit bagi dunia dakwah thulabiyah.

Terakhir, penulis menyadari bahwa masih terlalu banyak kekurangan di sana-sini sehingga kami sangat mengharapkan kritikan, saran, dan masukan yang membangun agar ke depan kami dapat meningkatkan kualitas dengan lebih baik lagi.

Wallahu a’lam bishshowwab.

Berikut ini adalah beberapa problematika dakwah thullaby yang kami hadapi sebagai Aktivis Dakwah Sekolah (ADS):

I. Problematika internal:

1. Individu

Sebelum kami memulai dari yang lain, maka kami berupaya untuk terlebih dahulu memulai mengerti dan memahami problematika yang berasal dari diri kami sendiri, sehingga kami dapat memperbaiki diri kami kemudian memperbaiki orang lain, karena kami yakin orang lain tidak mungkin mengikuti perkataan kita tanpa melihat sendiri bahwa kita telah membuktikan apa yang kami katakan. Kami berlindung dari kemurkaan Allah swt apabila kami hanya sanggup mengatakan kebaikan sedangkan kami sendiri tidak melakukan amal kebaikan tersebut, sebagaimana firmanNya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bagi siapa saja yang mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan”(Q.S. AshShaff:2-3). Tantangan yang biasanya mengganggu diri kami antara lain:

a. Bisikan setan.

Kami teringat akan sabda Rasulullah saw ”Iman itu kadang naik, kadang turun, maka senantiasalah perbaharui iman kalian”. Ketika iman kami sedang membumbung tinggi manakala kami berada bersama orang-orang shalih, ketika kami berada dalam majelis-majelis ilmu, dalam dauroh-dauroh dakwah sekolah, kajian-kajian tatsqif aktivis rohis, maka tidak ada keraguan sedikitpun dalam diri kami bahwa inilah jalan terbaik yang harus kami lalui, jalan para nabi, jalan orang-orang yang telah Allah pilih untuk menegakkan agamaNya yang Haq. Tetapi ketika iman kami sedang menurun, ketika kami sedang tidak bersama orang-orang shalih, ketika kami sedang tidak berada dalam majelis-majelis ilmu, dauroh-dauroh dakwah sekolah, dan sarana kebaikan lainnya, maka setan selalu berusaha membisikkan kepada kami hal-hal yang kemudian membuat hati kami bimbang diliputi oleh beragam pertanyaan, kebimbangan kami antara lain:

i. Benarkah dengan menjadi Aktivis dakwah sekolah merupakan jalan terbaik untuk kami, karena kami merasakan bahwa jalan ini terasa begitu melelahkan, tidak sedikit energi, waktu, pikiran bahkan materi yang kami keluarkan. Karena kami melihat realitas lain, yaitu teman-teman kami yang tidak terlibat dalam dakwah sekolah, dengan kehidupan materialistis dan hedonis mereka, begitu menggiurkan dalam pandangan kemanusiaan kami. Kesadaran dan mentalitas kami sebagai aktivis dakwah diuji di sini, sehingga kami tersadarkan bahwa kami belumlah termasuk orang beriman manakala kami belum mendapatkan ujian dari Allah swt, maka kami berusaha sebisa mungkin agar dapat masuk ke dalam barisan orang-orang beriman.

ii. Apakah dengan segala kelemahan-kelemahan yang kami miliki akan sanggup memikul beban dakwah yang tidaklah ringan, hal ini biasanya disebabkan karena ketidakmampuan kami di dalam memahami dan menggali potensi yang ada di dalam diri kami, kami seakan lupa dengan firman Allah swt yang berbunyi : ”Allah swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al Baqarah:286) .

b. Izin dari orang tua/keluarga.

Dalam usia kami sekarang ini, kami menyadari bahwa kami sebagai seorang anak maka kami memiliki tanggung jawab dan kewajiban kepada orang tua kami. Tanggung jawab dan kewajiban yang tentunya harus kami selaraskan dengan tanggung jawab dan kewajiban kami sebagai bagian dari aktivis dakwah sekolah, ditambah lagi dengan tanggung jawab dan kewajiban kami sebagai seorang pelajar, maka dalam dakwah ini dituntut untuk memiliki kemampuan manajemen diri sehingga di antara ketiga tanggung jawab dan kewajiban tersebut, tidak ada yang merasakan ketidakadilan dari kami. Kami memahami hadits nabi saw yang mengatakan bahwa ridha Allah tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua.

Oleh karena itu, apabila kami menginginkan agar aktivitas kami sebagai ADS diridhai oleh Allah melalui ridha orang tua, maka kami harus berupaya dengan segala potensi yang kami miliki untuk memenuhi tanggung jawab dan kewajiban kami terhadap orang tua kami. Allah memerintahkan kepada kami untuk berbuat baik kepada mereka atas semua jasa yang telah mereka berikan kepada kami, dan ketika mereka memerintahkan kami untuk berbuat maksiat maka kami diperintahkan untuk menolaknya dengan cara yang halus, dan tetap mempergauli mereka dengan baik (QS.Luqman: 14-15) bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk mengarahkan mereka untuk kembali ke jalan yang diridhai oleh Allah swt.

Imam Syahid Hasan Al Banna semoga Allah merahmatinya, memberikan panduan kepada kami tahapan-tahapan dalam berdakwah, dimana setelah kami membentuk diri kami sebagai pribadi yang Islami, maka tugas kami selanjutnya adalah membangun keluarga yang dibingkai oleh nilai-nilai Islami, baru kemudian melangkah ke tahapan-tahapan selanjutnya.

Sirah Rasulullah saw pun memberitahu kepada kami bagaimana Rasulullah berdakwah kepada keluarganya terlebih dahulu sebelum berdakwah kepada orang lain. Dan kami berusaha -atas izin Allah swt- untuk bisa mengikuti apa yang telah Rasulullah ajarkan kepada kami.

c. Kurang penjagaan ruhiyah

“Iman itu kadang naik, kadang pula turun, maka senantiasa perbaharuilah iman kalian”. Begitulah pesan Rasulullah saw. Ya, kami menyadari sepenuh hati bahwa keimanan kami belumlah seberapa, sehingga seketika kami kurang menjaga ruhiyah kami, seketika itu juga iman kami mengalami penurunan, dan ketika iman kami menurun, maka kualitas ‘amal kami pun seperti garis lurus. Oleh karena itu, kami berusaha sepenuh hati untuk menjaga kondisi iman kami dengan menjaga ‘amaliyah yaumiyah kami, senantiasa bergaul dengan orang – orang shalih, menjalankan sunnah Rasulullah dan menjauhkan diri dari hal – hal yang bisa membuat kami salah. Yaa Muqollibal Qulb, tsabit qulubina ‘aladdinik, ‘ala tho’atik, ‘ala da’watik, wa ‘ala jihadi fii sabilik. Aamiin

2. Problematika Organisasi

Kami sadar ketika kami meyakinkan diri untuk berada di dalam dakwah ini, maka kami tidaklah mungkin untuk melakukannya seorang diri, Rasulullah saw mengajarkan kepada kami melalui sirahnya yang mulia, bagaimana beliau merintis dakwah ini secara berjamaah, terkoordinir dan terorganisir bersama para sahabat yang setia. Oleh karena itu kami berusaha mencontoh tauladan beliau dengan membentuk organisasi dakwah thulabiyah atau di sini kami menyebutnya dengan singkatan rohis (rohani Islam). Dan ketika kami telah berada dalam lingkup organisasi maka kami harus juga memahami bahwa ketika berjamaah pun ada saja problematika yang harus kami hadapi. Di antaranya adalah:

a. Lemahnya soliditas kami sebagai sesama pengurus rohis, dimana hal ini seringkali disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

- Belum muncul rasa saling memiliki (sense of belonging) di antara pengurus.

Kami sering kali merasa belum menjadikan saudara kami di dalam jalan ini sebagai bagian dari diri kami sendiri, sehingga kami belum merasa sebagai satu kesatuan yang utuh, yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya. Padahal tauladan kami tercinta, Rasulullah Muhammad saw, bersabda “seorang muslim dengan muslim yang lainnya ibarat satu bangunan, dimana yang satu menguatkan yang lainnya”. Sebagai sebuah bangunan organisasi, agar bangunan ini kokoh, maka sudah selayaknya bagi kami untuk dapat saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Semoga kami dapat masuk ke dalam orang-orang yang dicintai Allah swt, sebagaimana firmanNya ”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalannya dalam barisan yang teratur, seperti sebuah bangunan yang berdiri kokoh”.

- Kurangnya silaturahim di antara pengurus.

Rasulullah saw bersabda “tidaklah beriman di antara kamu, manakala kamu tidak mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri”. Wujud dari cinta itu bermacam-macam, dan salah satu cara yang paling efektif untuk menunjukkan kecintaan kami terhadap saudara kami di jalan ini adalah dengan bersilaturahim, saling mengunjungi, bertanya kabar, sampai menjenguknya manakala saudara kami diuji oleh Allah swt dengan ujian penyakit.

- Kurangnya pemahaman akan manajemen kerja sama (‘amal jama’i) yang benar.

Imam Ali bin Abi Thalib berkata ”kejahatan yang terorganisir dapat dengan mudah mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Oleh karena itu, karena organisasi kami merupakan organisasi kebaikan, program kami adalah program kebaikan, maka suka tidak suka kami harus melakukan ‘amal jama’i di dalam rohis ini secara terorganisir dan dilakukan dengan benar.

- Kurangnya pemahaman akan karakter masing-masing anggota pengurus

Allah swt dalam FirmanNya menyebutkan ”Wahai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling mengenal…” (QS. Al Hujuraat: 13). Ya, di dalam ayat ini sangat jelas sekali bahwa Allah swt, tidaklah menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, kecuali kita diperintahkan olehNya untuk dapat saling mengenal satu dengan yang lainnya. Apalah lagi kami yang saat ini berada di dalam satu lingkup organisasi, dimana organisasi ini adalah organisasi kebaikan, dan kami harus saling bahu-membahu di dalamnya, maka agar kami dapat saling bekerja sama, kami haruslah mengenal karakter dari teman-teman, saudara-saudara kami dijalan ini. Kami harus dapat mengenal (ta’aruf) terlebih dahulu siapa saudara kami, agar kemudian kami dapat saling memahami (tafahum), sehingga pada akhirnya kami dapat saling tolong menolong (ta’awun).

- Kurangnya semangat saling menasihati di dalam kebenaran dan kesabaran.

Sesungguhnya, kami tidaklah ingin menjadi orang-orang yang merugi. Lalu Allah menunjukkan kepada kami bagaimana caranya, yaitu dengan mengokohkan keimanan kami, senantiasa berusaha beramal shalih, dan kemudian kami saling nasihat menasihati di dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al Ashr: 1-3). Di dalam perjalanan ini, akan selalu ada ujian, halangan, dan tantangan yang harus kami hadapi sebagai konsekuensi keberadaan kami dijalan ini, dan agar kami dapat saling menguatkan satu dengan yang lainnya maka kami harus senantiasa berada dalam atmosfir saling nasihat menasihati. Dan kami diajarkan agar nasihat yang kami berikan kepada saudara kami, tidaklah boleh membuat hati mereka menjadi terluka, sebagai mana kami tidak ingin perasaan kami dilukai oleh orang lain. Kami juga diajarkan agar nasihat yang kami sampaikan kepada saudara kami dijalan ini, bukan dalam rangka mencari kesalahan yang mereka lakukan, sebab kalau ini yang kami lakukan, maka dampaknya bisa jadi justru mereka menjadi semakin terpuruk. Kami diajarkan agar nasihat yang kami sampaikan dapat membangkitkan kembali semangat yang melemah, mengembalikan asa yang hampir sirna, memperbaiki kerja-kerja dakwah yang memburuk.

- Qiyadah wal Jundiyah.

Pemimpin dan yang dipimpin, setidaknya dua kata itu menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah jamaah, atau organisasi atau kelompok, atau istilah apapun yang memiliki arti berkumpulnya dua orang atau lebih yang memiliki tujuan bersama, dan berkeinginan untuk mencapainya secara bersama-sama. Begitu pun kami dalam lingkup organisasi rohis, pemimpin dan yang dipimpin juga merupakan bagian terpenting dari organisasi ini.

1. Pemimpin/qiyadah

Rasulullah saw bersabda” setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya,…”.

Dari hadits tersebut di atas, kami diajarkan bahwa setiap pribadi, merupakan pemimpin , paling tidak pemimpin bagi diri kami sendiri. Kami diajarkan juga bahwa kepemimpinan kami harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.

Dari hadits di atas, dalam lingkup organisasi dakwah sekolah, maka pemimpin atau ketua memiliki tanggung jawab atas organisasi dakwah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, agar pemimpin dapat menjalankan amanahnya dengan baik, maka setidaknya ia memiliki kriteria-kriteria sebagai seorang pemimpin, antara lain bisa dilihat dari sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah:

i. Siddiq/dapat dipercaya.

Seorang pemimpin, haruslah orang yang dapat dipercaya. Sirah Rasulullah saw menceritakan, bahwa Rasulullah Muhammad saw mendapatkan julukan Al amin, yaitu orang yang dapat dipercaya, julukan ini diberikan ketika terjadi peristiwa peletakan hajar aswad ke Ka’bah sebelum beliau (Muhammad saw) diangkat sebagai nabi dan rasul, dimana pada waktu itu masing-masing kabilah merasa merekalah yang paling berhak untuk meletakkan hajar aswad di tempatnya, bahkan hampir saja terjadi pertumpahan darah, untung saja Muhammad muda datang dengan sebuah gagasan dimana batu hajar aswad tersebut diletakkan di atas hamparan kain, kemudian masing-masing pemimpin kabilah yang tadi bersengketa memegang ujung kain dan mengangkat batu tersebut secara bersama-sama sampai akhirnya diletakkan kembali pada tempatnya.

Begitu pula dalam sirahnya yang lain dimana sekalipun sebagian besar masyarakat Mekah tidak menyukai atau bahkan memusuhi Rasulullah saw yang membawa risalah Islam dan mendakwahkannya di tengah-tengah mereka, tetapi tidak mengurangi sedikitpun kepercayaan mereka terhadap Rasulullah untuk menitipkan barang-barang berharga yang mereka miliki ketika mereka hendak bepergian jauh.

ii. Amanah/bertanggung jawab.

Allah swt berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.”(Q.S. Al Anfaal:27). Kalimat cinta dari Allah ta’ala ini mengingatkan kepada kami betapa sebuah amanah, sekecil apapun amanah yang diberikan, haruslah dipikul dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia perbuat selama hidupnya di Yaumil Hisab nanti, begitu pula dengan seorang pemimpin ia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah swt. Betapa pentingnya sikap amanah sehingga Rasulullah saw, mengkategorikan orang-orang yang tidak amanah sebagai orang munafik. Rasulullah saw bersabda:” Ada empat sifat jika ia berada pada seseorang, ia menjadi munafik sejati. Jika satu sifat ada padanya, pada dirinya ada satu kemunafikan sampai ia meninggalkannya, yaitu jika diberi amanah ia khianat, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika bertikai ia curang.” (HR. Muslim). Pemimpin yang amanah akan melaksanakan semua tugas dan kewajiban yang dimilikinya dengan penuh tanggung jawab, sehingga semua pekerjaan-pekerjaan dakwah dapat diselesaikan dengan baik.

iii. Fathonah/cerdas.

Manusia telah Allah swt berikan kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaanNya yang lain, yaitu berupa akal pikiran yang dengannya manusia dapat menggunakannya dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Di dalam organisasi dakwah seperti Rohis, seorang pemimpin yang fathonah/cerdas sangat diperlukan. Hal ini menjadi penting manakala dakwah dihadapkan pada kondisi yang rumit, kondisi yang membutuhkan kecerdasan di dalam mengambil keputusan-keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam dakwah.

iv. Tabligh/menyampaikan.

Rasulullah saw, di dalam sebuah buku yang dibuat oleh Michael H. Hart, seorang penulis barat, yang berjudul “100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah”, beliau berada di posisi pertama. Hal ini disebabkan kemampuan beliau di dalam menyampaikan misi keislamannya yang dimulai sejak empat belas setengah abad yang lalu, yang kemudian berhasil beliau wariskan kepada generasi-generasi berikutnya, sehingga sampai saat ini lebih dari satu setengah milyar manusia yang ada di muka bumi ini beragama Islam. Dari sini kami belajar, bahwa seorang pemimpin yang berhasil adalah ia yang mampu menyampaikan kepemimpinannya dengan baik, mampu mentransfer informasi-informasi yang benar kepada mereka yang dipimpinnya, sehingga informasi tersebut menjadi berguna. Sebagaimana Rasulullah saw yang berhasil menyampaikan wahyu Allah yang turun kepadanya sehingga dapat merubah system jahiliyah yang ada pada masa itu menjadi system kehidupan yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.

2. Yang dipimpin/ anggota/ jundiyah.

Sebuah organisasi seperti rohis, selain harus memiliki pemimpin, tentunya harus juga memiliki anggota. Anggota di sini berarti adalah orang-orang yang berada di dalam organisasi (dalam hal ini rohis), yang memiliki keterikatan secara kelembagaan, baik dalam hal pelaksanaan kewajiban, maupun di dalam perolehan hak sebagai seorang anggota di dalam organisasi tersebut. Sebagai seorang yang dipimpin/jundi di dalam organisasi rohis, kami dituntut untuk terlebih dahulu mampu melaksanakan kewajiban kami, baru kemudian kami mendapatkan hak kami sebagai anggota. Kewajiban kami sebagai anggota, tentunya adalah melaksanakan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan di dalam organisasi, baik yang kami sukai, maupun yang tidak kami sukai, dengan penuh tanggung jawab, sebagai konsekuensi keterlibatan kami di sini. Kami sadar, sebagai manusia kami memiliki kecenderungan untuk menyukai sesuatu, dan ketika di dalam kami beraktivitas di dunia dakwah sekolah, bukan tidak mungkin kami menemukan hal-hal yang tidak kami sukai, tetapi itu tidak kemudian menjadikan kami sebagai orang-orang yang lari dari tanggung jawab kolektif sebagai bagian dari organisasi dakwah. Ada kaidah fiqih di dalam dakwah yang kami yakini yaitu “Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada Allah”. Hal ini berarti bahwa, walaupun kami berada dalam posisi sebagai anggota, bukan berarti kami akan taqlid buta atas segala kebijakan yang diambil oleh pemimpin di antara kami, tapi kami akan melandaskan itu semua kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Di dalam pengajian rutin pekanan yang kami ikuti, kami juga diajarkan mengenai “Al Wala wa Al Baro’” atau “Loyalitas dan Anti Loyalitas”. Di situ dibahas bahwa loyalitas itu hanya boleh kami berikan kepada Allah swt, Rasulullah saw, serta kepada pemimpin dari golongan kami yang telah terlebih dahulu memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah dan RasulNya (Q.S. Annisaa : 59). Ditambahkan juga dalam ayat tersebut, manakala terjadi perbedaan pendapat, maka cara yang terbaik di dalam menyelesaikannya adalah dengan kembali kepada Al Qur’an dan sunnah.

II. Problematika eksternal:

Dijalan dakwah thullaby ini kami diingatkan bahwa tidak sedikit problematika yang kami hadapi juga berasal dari luar diri dan organisasi kami. Oleh karena itu kami berusaha senantiasa mengasah kepekaan kami untuk menganalisa masalah-masalah yang ada, untuk kemudian kami berusaha mencari solusi atas permasalahan tersebut.

Berikut beberapa problematika eksternal yang kadang kami hadapi:

1. Lingkup sekolah

Problematika dakwah yang kami hadapi di sekolah sebagai tempat dimana kami beraktivitas, antara lain:

a. Kurang kooperatifnya sebagian elemen yang ada di sekolah tersebut, mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, sampai ­­­­­­­­­­­­­­­sesama siswa. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

* ADS yang ada belum menjalin silaturahim yang kokoh dengan elemen-elemen yang tersebut di atas. Padahal dengan bersilaturahim pintu-pintu kebaikan akan terbuka dengan lebar, hati manusia yang selama ini terkuncipun dapat terbuka lebar.
* Kurang tersosialisasikannya program-program kerja rohis sehingga pihak sekolah kurang memahami kegiatan-kegiatan rohis yang sebenarnya, hal ini berdampak pada pemberian izin manakala rohis hendak mengadakan kegiatan.
* Para pengurus rohis/ADS bersifat eksklusif, dimana para ADS hanya bersosialisasi dengan sesama ADS saja, para ADS hanya memberikan taushiyah atau nasihat kepada sesama ADS saja. Padahal hakikatnya Islam adalah Rahmatan lil ‘alamin yaitu rahmat bagi seluruh alam beserta isinya. Begitu pun rohis beserta para ADSnya, seharusnya bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin dalam lingkup sekolah sehingga tidak hanya kalangan internal rohis yang merasakan keshalihan dalam diri para ADSnya tetapi seluruh elemen sekolah dapat merasakan keshalihan sosial ADS rohis (sholihun li ghoirihi).

b. Adanya ADK (Aktivis Dakwah Kristen).

Keberadaan ADK di lingkungan sekolah saat ini bisa dibilang semakin hari semakin berkembang, hal ini tidak lain adalah semakin besarnya “kesadaran” dari kalangan non muslim bahwa aktivitas dakwah Islam di lingkungan sekolah juga semakin besar. Sehingga mereka dengan segala cara akan berusaha mengimbangi bahkan kalau bisa melampaui semua usaha yang dilakukan oleh para ADS. Secara jelas dalam Al Qur’an Allah mengingatkan kepada kita semua “Dan orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan rela kepadamu, sebelum kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak aka nada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.”(Q.S. Al Baqoroh:120). Maka, seperti telah penulis sampaikan di awal, bahwa kami harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, agar jangan sampai keberadaan mereka di sekolah menjadi lebih mendominasi, dan kami akan berusaha dengan sebaik-baiknya dengan mengharapkan pertolongan dari Allah swt agar dakwah Islam dapat meraih kemenangan di sini, di dalam dakwah yang kami jalani saat ini, yaitu dakwah sekolah. Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah akan menolong siapa saja yang menolong agamaNya agar tetap tegak di muka bumi ini.

2. Luar sekolah.

a. Alumni rohis.

Alumni rohis, merupakan salah satu elemen luar sekolah yang tidak bisa dilepaskan dari rohis itu sendiri. Mengapa? Karena alumni rohis memiliki beberapa karakteristik tersendiri yang antara lain:

1. Alumni rohis merupakan produk atau output yang dihasilkan dari pembinaan yang dilakukan secara intensif di sekolah. Oleh karena itu, pencitraan rohis sebuah sekolah terkadang dapat dilihat dari bagaimana alumni-alumni rohis sekolah tersebut memberikan kontribusinya baik untuk dirinya sendiri, orang lain, sekolah, maupun bagi masyarakat di sekelilingnya. Alumni rohis juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur sejauh mana keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh pengelola dakwah sekolah di sekolah tersebut. Setidaknya ketika pembinaan keislaman yang diberikan dapat diterima dan dipahami dengan baik, maka akan nampak dari sikap, tutur kata, maupun perbuatan yang dilakukan akan mencerminkan akhlaq-akhlaq yang islami, sebagaimana telah disampaikan oleh Imam Syahid Hasan Al Banna, tentang Syakhshiyah Islamiyah (Karakteristik pribadi Islam) yang sepuluh :

1) Salimul ‘aqidah (aqidah yang lurus)

2) Shahihul ‘ibadah (ibadah yang benar)

3) Matinul khuluq (akhlaq yang kokoh)

4) Qawiyyul jism (jasmani yang kuat)

5) Mutsaqqaful fikr (wawasan yang luas)

6) Mujahidun li nafsi (bersungguh-sungguh terhadap diri)

7) Munazhom fii su’unihi (teratur dalam segala urusan)

8) Haritsun ‘ala al waqtihi (disiplin waktu)

9) Qadirun ‘ala al kasbihi (mandiri)

10) Nafi’un li qhoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Di banyak sekolah dimana di dalamnya terdapat kegiatan rohis, biasanya juga sudah memiliki forum alumni rohis, forum alumni ini biasanya terbentuk sebagai wadah bagi setiap alumni rohis yang merasa terpanggil untuk turut serta dalam menumbuhkembangkan serta menjaga kelangsungan dakwah di tubuh almamaternya. Forum ini umumnya memiliki fungsi antara lain:

1. sarana silaturahim antar alumni rohis agar selepas lulus, tidak kemudian lantas putus komunikasi, tapi tetap terjaga dengan baik, sehingga setiap informasi terkait dakwah sekolah masih dapat tersebar luaskan.
2. mengambil bagian dalam menjaga kelangsungan proses pembinaan, dalam bentuk penyediaan SDM Pembina/ mentor, penyiapan system dan materi pembinaan, serta membantu penyiapan perangkat-perangkat lain yang dibutuhkan dalam dakwah sekolah.
3. bekerja sama dengan elemen dakwah lain yang memiliki keterkaitan dengan dakwah sekolah.
4. menyokong serta membantu kerja-kerja dakwah siswa anggota rohis
5. menjadi salah satu sumber pendanaan, terutama bagi para alumni yang telah memiliki penghasilan sendiri.
6. menjadi adviser/ penasehat/ memberi masukan dan saran yang berguna bagi peningkatan kualitas maupun kuantitas dakwah sekolah.
7. Masyarakat.

Bagaimanapun sekolah termasuk semua elemen yang ada di dalamnya, merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Oleh karenanya sebagai aktivis dakwah sekolah, harus mampu meletakkan/ memposisikan diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri, jangan sampai keberadaan aktivis dakwah dalam sebuah sekolah justru mengisolasi diri dari lingkungan masyarakat sekitar, itulah sebabnya mengapa tidak jarang warga masyarakat yang justru antipati terhadap sosok seorang aktivis dakwah dikarenakan sikapnya yang terkesan eksklusif, tidak mau berbaur dengan masyarakat dikarenakan –kadang- disebabkan oleh keinginannya untuk menjaga dirinya dari pengaruh buruk, yang ada di masyarakat. Padahal sebagai seorang aktivis dakwah –sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw – harus mampu dan mau masuk ke tengah-tengah masyarakat agar dapat memberikan pencerahan dan mengajak mereka untuk hijrah menuju kesempurnaan Islam, tentunya dengan menjaga prinsip “Yakhtalutun wa lakin Yatamayyadzun” – berbaur tapi jangan sampai tercampur. Bukankah mukmin yang bergaul di tengah-tengah manusia dan sabar atas keburukan mereka lebih baik ketimbang mukmin yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak sabar atasnya. Bagaimana mungkin seorang aktivis dakwah mampu menjadi sebaik-baik manusia sedangkan ia tidak memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya, dan bagaimana mungkin ia mampu memberikan kemanfaatan jika ia tidak bergaul di tengah manusia dan mengetahui kesulitan yang dihadapi mereka.

b. Media massa.

Bagaimanapun media massa kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Media massa baik cetak maupun elektronik, mampu menjadi sarana yang cukup efektif dalam membentuk opini publik, karena dapat dengan mudah didapatkan. Saat ini pun musuh-musuh Islam menggunakan media massa sebagai salah satu sarana untuk menyebarkan “Ghazwul Fikr”, melalui 3S1F(Song, Sport, Sex, Fashion) mereka berupaya merusak akhlaq dan aqidah para pemuda Islam, yang sayangnya dikarenakan minimnya pemahaman keislaman membuat para pemuda tersebut jatuh terperosok ke dalamnya. Oleh karena itu, para aktivis rohis memiliki peranan penting di dalam turut serta menjaga dan membentengi akhlaq para pemuda Islam, tentunya setelah terlebih dahulu mereka membentengi diri, agar jangan sampai mereka yang justru terjerumus ke lubang yang sama. Dan sudah seharusnya para aktivis dakwah sekolah, juga memiliki sarana media untuk mengantisipasi hal tersebut.

Problematika Dakwah Thullabiyah



dakwatuna.com – Saya akan memulai tulisan ini dengan beberapa firman dari Allah dan petuah kekasihNya, Rasulullah SAW

“…maka berlomba-lombalah kamu dalam hal kebaikan…” (QS Al-Baqarah 148)

“…sungguh yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling tinggi ketaqwaannya…” (QS Al-Hujurat 13)

“…sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.” (HR Bukhari)

Kawan, tiga buah hujjah di atas sedang berbicara pada kita tentang satu hal, prestasi. Prestasi adalah suatu hal yang sangat penting, sehingga dia menjadi pantas diserukan dalam Al-Qur’an dan hadits Rasul. Berprestasi sebenarnya menjadi tuntutan bagi setiap muslim, karena harga seorang muslim di hadapan Allah nantinya ditentukan oleh prestasi taqwa yang dia ukir selama hidup di dunia. Allah dan Rasul memberikan sebuah pattern bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang paling tinggi prestasi taqwa-nya.

Tapi sadar kita atau tidak, ada saudara kembar yang selalu hadir bersama prestasi, yaitu prestise, kebanggaan. Prestasi dan prestise adalah dua hal yang mungkin akan selalu hadir bersama. Ketidakbijakan kita untuk menempatkan mereka dengan baik bisa berujung petaka bagi kita, kalau tidak akan di dunia, mungkin petaka di akhirat. Yang harus kita sadari adalah bahwa prestise hanyalah merupakan konsekuensi logis ketika prestasi luar biasa telah terukir. Prestise seharusnya bukanlah sesuatu yang menjadi alasan dan membuat kita mau bergerak. Lihatlah apa yang didapatkan oleh manusia-manusia sekelas Abu Bakar Sidq, Khalid bin Walid, Muhammad Al-Fatih, Thariq bin Ziyad, sampai Hasan Al Banna. Mereka adalah manusia-manusia yang bergerak karena dorongan nuraninya, karena kecintaan dan kepatuhan pada Tuhannya, mengukir prestasi-prestasi yang sangat agung, sehingga prestise adalah suatu hal yang hadir dengan sendirinya, bukanlah hal yang mereka kejar.

Namun sebaliknya, mungkin banyak di antara yang sering terjebak pada kondisi dimana kita sering berpikir prestise terlebih dahulu, sering berpikir ketenaran atau keterkenalan di awal. Sehingga tak jarang fokus pada prestise itulah yang membuat kita tak pernah mengukir prestasi, ataupun kalau prestasi itu pernah hadir hanya akan menjadi prestasi di mata manusia saja, tidak di mata Allah. Bukankah kita sudah sama-sama tahu, betapa penting yang namanya niat, betapa sangat menentukan yang namanya niat, seperti yang diungkapkan dalam Hadits Arba’in yang pertama, “sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya…”. Jika prestise menjadi niat utama kita bergerak, maka akan sangat rugi lah kita, karena ia hanya akan menjadi fatamorgana saja, begitu “wah” di mata manusia tapi nol besar di mata Allah.

Kuingin ingatkan pada pribadi ini dan pada kawan-kawan semua, berhati-hatilah. Luruskan lagi niat di setiap gerak dan ibadah kita, di setiap tegak dan sujud kita. Buang jauh-jauh perasaan mau bergerak karena hanya mengejar sebuah prestise, tapi bergeraklah karena kita sama-sama ingin berprestasi di mata Allah. Semoga setiap helaan nafas kita menjadi bagian prestasi yang akan terukir indah dan akan menjadi penolong kita nanti di hadapan Allah.

Terakhir, sebuah pertanyaan renungan, sudah adakah prestasi yang kita ukir sampai detik ini yang bisa kita banggakan di hadapan Allah kelak??’

Wallahu’alam bisshawab

Prestasi dan Prestise

About Us